Jumat, 06 Februari 2009

Menyingkap Sejarah dan Keajaiban Sigale-gale

Naskah ini dikutip dari: http://insidesumatera.com (ditulis oleh Thompson HS)

Pertunjukan tarian boneka Sigale-gale sudah sangat langka. Jumlah boneka Sigale-gale pun konon tinggal beberapa saja. Tidak gampang membuatnya. Ada kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat boneka Sigale-gale harus menyerahkan jiwanya pada boneka kayu buatannya itu agar si boneka bisa bergerak seperti hidup. Bagaimana pertunjukan mistis ini bisa sampai melekat dalam masyarakat Batak?

Untunglah sampai hari ini Sigale-gale belum punah sama sekali. Masih ada beberapa sisa patung yang dipahat puluhan tahun silam. Kita masih bisa menyaksikan sisa-sisa kemunculannya meski sangat jarang. Jika mau menonton langsung pertunjukan tradisional dari Tanah Batak itu, pergilah ke Samosir.

Kabarnya ada empat tempat yang dapat mempertontonkannya di sana. Dua di antaranya yang mudah dijangkau adalah tempat wisata Tomok dan Museum Hutabolon Simanindo. Pengunjung dapat memesan langsung pertunjukan Sigale-gale dengan bayaran tertentu. Pengunjung yang ingin menontonnya pun tidak dibatasi dari jumlah dan usia.

Terkadang dua tiga orang yang tertarik, seperti turis mancanegara, dapat meminta kepada pengusaha pertunjukan untuk segera memainkannya dengan iringan musikal gondang Batak dan delapan sampai sepuluh penari pengiringnya.

Rombongan anak-anak sekolah pun sering berkunjung ke Samosir untuk menyaksikan Sigale-gale dalam durasi tertentu dari pilihan-pilihan repertoar musiknya. Repertoar di dua tempat tersebut dapat membosankan jika melebihi satu jam. Apalagi sekarang musik pengiringnya sudah sering menggunakan rekaman kaset audio (playback).

Suasana pertunjukan tarian boneka Sigale-gale memang sangat menarik dan menghibur. Bayangkan, sebuah boneka yang terbuat dari kayu dapat menari seperti manusia. Kelihatannya memang seperti manusia jika semakin diperhatikan. Boneka yang tingginya mencapai satu setengah meter tersebut diberi kostum tradisonal Batak. Bahkan semua gerak-geriknya yang muncul selama pertunjukan menciptakan kesan-kesan dari contoh model manusia.

Kepalanya bisa diputar ke samping kanan dan kiri, mata dan lidahnya dapat bergerak, kedua tangan bergerak seperti tangan-tangan manusia yang menari serta dapat menurunkan badannya lebih rendah seperti jongkok waktu menari. Padahal semua gerakan itu hanya di atas peti mati, tempat disimpannya boneka Sigale-gale seusai dipajang atau dimainkan. Kenapa itu bisa terjadi? Tentu dua tiga orang dalangnya ada di belakang dengan menarik jalur-jalur tali secara anatomis.

Dalang Legendaris
Dulu, Sigale-gale sempat dimainkan hanya oleh satu orang dalang. Dalang terakhir yang terkenal adalah Raja Gayus Rumahorbo dari kampung Garoga, Tomok. Beliau pernah tampil pada festival Sigale-gale di Pematang Siantar (Simalungun) pada tahun 1930-an. Malahan, kabarnya Sigale-gale yang dimainkannya waktu itu adalah hasil buatannya sendiri.

Raja Gayus dikenal mampu membuat Sigale-gale mengeluarkan airmata dan punya kemampuan mengusapkan ulos (kain tenunan Batak) yang disandangkan sebelumnya di bahu sang boneka kayu. Airmata yang keluar tentu saja air yang mengalir dari bagian kepala Sigale-gale yang dilubangi. Namun bagaimana teknis mengeluarkannya masih sulit dibayangkan, karena biasanya diisi dengan kain lap basah atau wadah kecil yang muat di bagian yang berlubang itu.

Pewaris Raja Gayus Rumahorbo mengatakan, Sigale-gale yang dimainkan pada festival itu kini berada di Belanda. Satu boneka lagi, masih menurut pewarisnya, terdapat di Jakarta. Memang Museum Nasional di bagian khusus kebudayaan Batak pernah diinformasikan menyimpan patung Sigale-gale. Rayani Sriwidodo Lubis melahirkan sebuah buku ceritanya berjudul Sigale-gale (PT Dunia Pustaka Jaya, 1982) diperkirakan mendapat inspirasi setelah melihat patung yang ada di museum itu.

Mistik di Balik Pembuatan Sigale-gale
Kisah pembuatan patung Sigale-gale masih lestari di kampung Garoga. Kampung ini berjarak sekitar tiga kilometer dari Tomok, dan naik ke arah kiri yang dibentengi pegunungan Samosir. Gunung sekitar itu dikenal dengan nama Naboratan yang dapat berarti “sangat berat”. Ada satu air terjun, yang dalam bahasa setempat disebut dengan nama Sampuran Simangande.

Air terjun yang konon menyimpan batu-batuan aneh dan posisi gunung seperti tembok yang sangat tinggi itu sempat menambahi kesan lebih jauh tentang kampung yang dikenal masih menyimpan patung Sigale-gale itu. Ternyata suasana alam yang melatarbelakangi kampung Garoga sama sekali tidak ada kaitannya dengan munculnya patung Sigale-gale. Setidaknya dalam kaitan bahan-bahan seperti kayu dan upacara tertentu untuk patung Sigale-gale.

Kampung Garoga juga tak bisa dipastikan sebagai setting cerita Sigale-gale. Kampung ini hanyalah salah satu kampung selain kampung Siallagan atau Ambarita. Malahan informasi tentang sebuah patung Sigale-gale pernah ada dari sekitar Silimbat Porsea.

Hari itu, di teras sebuah rumah yang berarsitek modern, kami diperlihatkan pada dua unit Sigale-gale yang sudah berumur 30 dan 70 tahun. Salah seorang keturunan Raja Gayus menyambut kedatangan kami dengan minuman tradisional tuak dan natinombur (ikan panggang dengan racikan sambal khas Batak).

Beberapa orang pemusik sudah siap-siap di posisi belakang terletaknya kedua Sigale-gale itu dengan instrumen selengkapnya. Sekitar setengah jam mereka memainkan sejumlah repertoar musik yang konteksnya tidak jauh dari kategori musik ritual Batak.

Biasanya ada tujuh macam cara musikal yang dilakukan dalam ritual Batak. Namun selesai pertunjukan, kami lebih terfokus membicarakan seputar Sigale-gale sendiri.

Terkait dengan pembuatannya, patung Sigale-gale diliputi oleh cerita yang mistis atau seram. Bila seseorang sudah bersedia membuat patung Sigale-gale, berarti ia sudah pasti menjadi tumbal. Setelah menyelesaikan sebuah patung, si pembuat akan segera meninggal. Mungkin kepercayaan ini pulalah yang membuat patung Sigale-gale menjadi ekslusif dan tidak pernah dibuat banyak-banyak.

Berdasarkan kejadian-kejadian itu, proses pembuatan Sigale-gale kemudian dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ada yang khusus mengerjakan pembuatan tangan, tungkai kaki, bagian badan, dan kepala. Mungkin secara bersama juga tali-tali dan kerandanya yang berukiran Batak diselesaikan. Jumlah tali-tali pada setiap patung yang dibuat tidak selalu serupa.

Pada dua unit Sigale-gale tadi, salah satunya mempunyai tali penarik 17 ruas. Dulu tali-tali tersebut katanya sama sekali tidak ada. Gerakan patung berlangsung hanya dengan kekuatan gaib yang dimiliki dalangnya. Patung yang dihidupkan demi kekuatan gaib dalam tradisi Batak disebut dengan gana-ganaan dan dia dapat menyerupai totem. Seorang pembuat patung Sigale-gale dulunya dikenal dengan sebutan Datu Panggana, karena didorong oleh suatu kekuatan gaib juga.

Bahan yang digunakan untuk patung Sigale-gale biasanya dari sejenis pohon bernama ingul dan pohon nangka. Pohon nangka khusus digunakan untuk bagian tangan dan kepala. Sedangkan pohon ingul untuk bagian badan dan kaki. Kayu ini termasuk jenis kayu yang bermutu dan sering digunakan membuat perahu. Tidak ada makna simbolis dengan pilihan atas kedua kayu itu. Pengerjaan satu patung Sigale-gale dapat memakan waktu satu tahun.

Asal Mula Sigale-gale
Selesai pengerjaan patung Sigale-gale, para pembuat atau pemesannya tidak boleh menempatkan serta menyimpannya di dalam rumah. Ada tempat khusus untuk menyimpan patung Sigale-gale zaman dahulu. Namanya disebut sopo balian, sebuah rumah-rumahan di tengah sawah.

Tersebutlah seorang raja yang kaya bernama Tuan Rahat. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Manggale. Anaknya tersebut diharapkan segera mendapat jodoh. Namun setiap perempuan yang disukainya selalu tak mau mendampinginya.

Suatu ketika, sang raja turut mengirim anaknya berperang dalam rangka meluaskan wilayah kerajaan. Anak itu ternyata mangkat pula di medan perang. Untuk mengenang anaknya, sang raja memesan sebuah patung dibuatkan mirip sang anak, dan sehidup mungkin. Patung tersebut kemudian dinamainya Sigale-gale.

Namun sang raja memesankan agar patung tersebut ditempatkan saja agak jauh dari rumah, yakni di sopo balian. Nanti, pada saat upacara kematiannya, patung itu dapat dijemput untuk menari di samping jenazahnya. Jadi pertunjukan Sigale-gale dulunya diadakan hanya kepada seorang raja yang kehilangan keturunan. Tapi kemudian, kebiasaan raja itu diperluas kepada setiap orang yang tidak punya keturunan.

Setiap orang yang sengaja memesankan patung Sigale-gale untuk alasan itu disebut dengan papurpur sapata (menaburkan janji). Ketika kematian sudah tak terelakkan, Sigale-gale dengan tariannya menjadi semacam pengobat impian yang pernah kandas bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan sampai pada upacara kematiannya.

Tapi ada versi lain tentang cerita Sigale-gale. Konon, seorang dukun bernama Datu Partaoar, ingin sekali mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Suatu ketika dia menemukan sebuah patung cantik di tengah hutan, persis seperti seorang gadis yang tubuhnya terlilit kain dan beranting-anting. Dia kemudian membawa gadis itu setelah mengubahnya dari patung menjadi manusia.

Istrinya yang juga berharap-harap selama ini untuk mempunyai keturunan memberi nama gadis itu dengan nama Nai Manggale. Dia menjadi gadis yang disenangi penduduk karena kelembutannya. Suatu ketika dia harus mendapatkan pendamping hidup. Namun seperti ibunya, ia tidak dapat melahirkan keturunan secara biologis. Dia pun berkata kepada suaminya yang bernama Datu Partiktik agar memesan pematung untuk membuatkan sebuah patung yang bisa menari di samping jenazahnya suatu ketika. Patung tersebut dinamai Sigale-gale.

Berdasarkan versi itulah kiranya tarian Sigale-gale pernah ditemukan dengan pasangan laki-laki dan perempuan. Sigale-gale secara etimologis dapat berarti “yang lemah gemulai”. Demikianlah sebenarnya kesan melihat tarian boneka Sigale-gale. Entah mungkin juga mereka kembar. Yang laki-laki namanya si Manggale dan perempuan bernama Nai Manggale.

Kamis, 05 Februari 2009

Sejarah Batak

Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.

Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.

Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan:

* Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. •Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).

* Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya.

Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.

Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu : GURU TETEABULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-marga Batak.

Sumber:

Jatibeningcorpsegrinder's Weblog

disarikan dari buku “LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA” cet. ke-2 (1997) oleh Drs Richard Sinaga, Penerbit Dian Utama, Jakarta.

Siapakah Orang Batak?

Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb:

1. Batak Toba (Tapanuli), mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah mengunakan Bahasa Batak Toba.
2. Batak Simalungun, mendiami Kabupaten Simalungun dan menggunakan Bahasa Batak Simalungun.
3. Batak Karo, mendiami Kabupaten Karo dan menggunakan Bahasa Batak Karo.
4. Batak Mandailing, mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan dan menggunakan Bahasa Batak Mandailing.
5. Batak Pakpak, mendiami Kabupaten Dairi dan menggunakan Bahasa Pakpak.

Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, mereka mempunyai marga-marga seperti halnya orang Batak.

DALIHAN NA TOLU, TOLU SAHUNDULAN

(The Philosophy of Life)

Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun).

Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”.

Keduanya mengandung arti yang sama, 3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu:

1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
2. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut MANAT MARDONGAN TUBU, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
3. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut ELEK MARBORU artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU.

Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.

Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat.

Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya.Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

MARGA dan TAROMBO

MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal).

Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki.

Seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya.

Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.

Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah.
Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga.
Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo.
Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling “mardongan sabutuha” (semarga) dengan panggilan “ampara” atau “marhula-hula” dengan panggilan “lae/tulang”.
Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil “Namboru” (adik perempuan ayah/bibi), “Amangboru/Makela”,(suami dari adik ayah/Om), “Bapatua/Amanganggi/Amanguda” (abang/adik ayah), “Ito/boto” (kakak/adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.

ULOS BATAK

Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah dari terpaan udara dingin.

Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 (tiga) sumber kehangatan : (1) matahari, (2) api, dan (3) ulos.

Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.

Dalam pengertian adat Batak “mangulosi” (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.

Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.

Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dalam upacara adat yang bagaimana.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang “non Batak” bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.

Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat diiringi ucapan semoga dalam menjalankan tugas tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.

Ulos juga digunakan sebagai busana, misalnya untuk busana pengantin yang menggambarkan kekerabatan Dalihan Natolu, terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).

HORAS!

Adalah salam khas orang Batak yang berarti selamat, salam sejahtera, yang kerap diucapkan dalam kehidupan sehari-hari bila 2 orang atau lebih bertemu.

Padanan kata horas adalah Mejuah-juah (Batak Karo, Batak Pakpak), Yahobu dari daerah Nias. Sedangkan Ahoiii! adalah salam khas daerah pesisir Melayu di Sumatera Utara.

Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak.

LEGENDA SI RAJA BATAK

Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk Manuk Hulambujati (MMH) berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya sebesar periuk tanah. MMH tidak mengerti bagaimana dia mengerami 3 butir telurnya yang demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) bagaimana caranya agar ketiga telur tsb menetas.

Mulajadi Na Bolon berkata, “Eramilah seperti biasa, telur itu akan menetas!” Dan ketika menetas, MMH sangat terkejut karena ia tidak mengenal ketiga makhluk yang keluar dari telur tsb. Kembali ia bertanya kepada Mulajadi Nabolon dan atas perintah Mulajadi Na Bolon, MMH memberi nama ketiga makhluk (manusia) tsb. Yang pertama lahir diberi nama TUAN BATARA GURU, yang kedua OMPU TUAN SORIPADA, dan yang ketiga OMPU TUAN MANGALABULAN, ketiganya adalah lelaki.

Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. MMH kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik : SIBORU PAREME untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki laki diberi nama TUAN SORI MUHAMMAD, dan DATU TANTAN DEBATA GURU MULIA dan 2 anak perempuan kembar bernama SIBORU SORBAJATI dan SIBORU DEAK PARUJAR. Anak kedua MMH, Tuan Soripada diberi istri bernama SIBORU PAROROT yang melahirkan anak laki-laki bernama TUAN SORIMANGARAJA sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama SIBORU PANUTURI yang melahirkan TUAN DIPAMPAT TINGGI SABULAN.

Dari pasangan Ompu Tuan Soripada-Siboru Parorot, lahir anak ke-5 namun karena wujudnya seperti kadal, Ompu Tuan Soripada menghadap Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta). “Tidak apa apa, berilah nama SIRAJA ENDA ENDA,” kata Mulajadi Na Bolon. Setelah anak-anak mereka dewasa, Ompu Tuan Soripada mendatangi abangnya, Tuan Batara Guru menanyakan bagaimana agar anak-anak mereka dikawinkan.

“Kawin dengan siapa? Anak perempuan saya mau dikawinkan kepada laki-laki mana?” tanya Tuan Batara Guru.

“Bagaimana kalau putri abang SIBORU SORBAJATI dikawinkan dengan anak saya Siraja Enda Enda. Mas kawin apapu akan kami penuhi, tetapi syaratnya putri abang yang mendatangi putra saya,” kata Tuan Soripada agak kuatir, karena putranya berwujud kadal.

Akhirnya mereka sepakat. Pada waktu yang ditentukan Siboru Sorbajati mendatangai rumah Siraja Enda Enda dan sebelum masuk, dari luar ia bertanya apakah benar mereka dijodohkan. Siraja Enda Enda mengatakan benar, dan ia sangat gembira atas kedatangan calon istrinya. Dipersilakannya Siboru Sorbajati naik ke rumah. Namun betapa terperanjatnya Siboru Sorbajati karena lelaki calon suaminya itu ternyata berwujud kadal.

Dengan perasaan kecewa ia pulang mengadu kepada abangnya Datu Tantan Debata.

“Lebih baik saya mati daripada kawin dengan kadal,” katanya terisak-isak.

“Jangan begitu adikku,” kata Datu Tantan Debata. “Kami semua telah menyetujui bahwa itulah calon suamimu. Mas kawin yang sudah diterima ayah akan kita kembalikan 2 kali lipat jika kau menolak jadi istri Siraja Enda Enda.”

Siboru Sorbajati tetap menolak. Namun karena terus-menerus dibujuk, akhirnya hatinya luluh tetapi kepada ayahnya ia minta agar menggelar “gondang” karena ia ingin “manortor” (menari) semalam suntuk.

Permintaan itu dipenuhi Tuan Batara Guru. Maka sepanjang malam, Siboru Sorbajati manortor di hadapan keluarganya.

Menjelang matahari terbit, tiba-tiba tariannya (tortor) mulai aneh, tiba-tiba ia melompat ke “para-para” dan dari sana ia melompat ke “bonggor” kemudian ke halaman dan yang mengejutkan tubuhnya mendadak tertancap ke dalam tanah dan hilang terkubur!

Keluarga Ompu Tuan Soripada amat terkejut mendengar calon menantunya hilang terkubur dan menuntut agar Keluarga Tuan Batara Guru memberikan putri ke-2 nya, Siboru Deak Parujar untuk Siraja Enda Enda.

Sama seperti Siboru Sorbajati, ia menolak keras. “Sorry ya, apa lagi saya,” katanya.

Namun karena didesak terus, ia akhirnya mengalah tetapi syaratnya orang tuanya harus menggelar “gondang” semalam suntuk karena ia ingin “manortor” juga. Sama dengan kakaknya, menjelang matahari terbit tortornya mulai aneh dan mendadak ia melompat ke halaman dan menghilang ke arah laut di benua tengah (Banua Tonga).

Di tengah laut ia digigit lumba-lumba dan binatang laut lainnya dan ketika burung layang-layang lewat, ia minta bantuan diberikan tanah untuk tempat berpijak.

Sayangnya, tanah yang dibawa burung layang-layang hancur karena digoncang NAGA PADOHA.

Siboru Deak Parujar menemui Naga Padoha agar tidak menggoncang Banua Tonga.

“OK,” katanya. “Sebenarnya aku tidak sengaja, kakiku rematik. Tolonglah sembuhkan.”

Siboru Deak Parujar berhasil menyembuhkan dan kepada Mulajadi Na Bolon dia meminta alat pemasung untuk memasung Naga Padoha agar tidak mengganggu. Naga Padoha berhasil dipasung hingga ditimbun dengan tanah dan terbenam ke benua tengah (Banua Toru). Bila terjadi gempa, itu pertanda Naga Padoha sedang meronta di bawah sana.

Alkisah, Mulajadi Na Bolon menyuruh Siboru Deak Parujar kembali ke Benua Atas.

Karena lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus RAJA ODAP ODAP untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di SIANJUR MULA MULA di kaki gunung Pusuk Buhit.

Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar : RAJA IHAT MANISIA (laki-laki) dan BORU ITAM MANISIA (perempuan).

Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki laki : RAJA MIOK MIOK, PATUNDAL NA BEGU dan AJI LAPAS LAPAS. Raja Miok Miok tinggal di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.

Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama ENGBANUA, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu : RAJA UJUNG, RAJA BONANG BONANG dan RAJA JAU. Konon Raja Ujung menjadi leluhur orang Aceh dan Raja Jau menjadi leluhur orang Nias. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama RAJA TANTAN DEBATA, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut SI RAJA BATAK, YANG MENJADI LELUHUR ORANG BATAK DAN BERDIAM DI SIANJUR MULA MULA DI KAKI GUNUNG PUSUK BUHIT!

dikutip dari : Jatibeningcorpsegrinder's Weblog

Jumat, 16 Januari 2009

Si Raja Lottung

versi 1

SARIBU RAJA, SIBORU PAREME, BABIAT SITELPANG, LONTUNG

Saribu Raja dan Siboru Pareme sebenarnya kakak beradik Kandung (na mariboto).

Pada masa itu jumlah manusia masih sedikit. Sudah kodrat alam, Saribu Raja mencintai adiknya sama seperti mencintai gadis lain. Keduanya terlanjur seperti suami istri, sehingga Siboru Pareme hamil. Mengetahui keadaan itu, saudaranya yg lain Sagala Raja, dan Malau Raja sangat murka dan berupaya membunuh kedua saudaranya Saribu Raja dan Siboru Pareme. Tetapi untuk melaksanakan niat itu tidak ada yg tega untuk membunuh. Akhirnya mereka sepakati untuk membuang keduanya ke tengah hutan atau tombak longo longo secara terpisah. Siboru Pareme dibuang kesekitar wilayah Ulu Darat di atas Sabulan dan Saribu Raja dibuang jauh kearah Barat (Barus).

Siboru Pareme hampir putus asa, karena tempat pembuangannya itu ternyata habitat harimau (banyak harimau berkeliaran) yg siap memangsanya.

Suatu ketika, Siboru Pareme yg sudah hamil tua dan kesepian, dikejutkan oleh seekor harimau yg mengaum mendekatinya. Namun karena sudah terbiasa melihat harimau dan penderitaan yg dialaminya, ia tidak takut lagi dan pasrah untuk di mangsa. Setelah menunggu beberapa saat, ternyata harimau itu tidak memangsanya. Harimau tadi membuka mulutnya lebar-lebar dihadapan Siboru Pareme seakan meminta bantuan. Dari jarak dekat Siboru Pareme melihat ada sepotong tulang yg tertancap di rahang harimau itu. Timbul rasa iba dihati Siboru Pareme. Tanpa ragu Siboru Pareme mencabut potongan tulang itu dan di buangnya. Setelah itu harimau yg dikenal buas itu menjadi jinak kepada Siboru Pareme. Sejak itu harimau yg dikenal BABIAT SITELPANG setiap pagi dan sore mengantar daging hasil buruannya ketempat Siboru Pareme. Budi baik yang diterimanya dari wanita yang sedang hamil tua itu menumbuhkan rasa sayang BABIAT SITELPANG yang diwujudkannya dengan tetap menjaganya hingga melahirkan SIRAJA LONTUNG.

SIRAJA LONTUNG yg hidup dengan ibunya ditengah hutan sekitar Ulu Darat selalu didampingi oleh BABIAT SITELPANG. Tidak seorang pun manusia lain yang mereka kenal. Namun Siboru Pareme selalu memberi pengetahuan kemasyarakatan kepada anaknya termasuk partuturan adat batak.

Setelah SIRAJA LONTUNG beranjak dewasa dan sudah bisa menikah, ia bertanya kepada ibunya di mana kampung tulangnya. Ia sangat berniat menikah dengan putri tulangnya (paribannya). Siboru Pareme merasa sedih dan sejenak terdiam. Hatinya gusar, kalau diberitahu yang sebenarnya, takut tulangnya yg membuang ke tombak longo longo itu membunuh SIRAJA LONTUNG, Siboru Pareme selalu berupaya mengelak dari pertanyaan anaknya. Namun karena tidak ingin anaknya menjadi korban kemarahan tulangnya, akhirnya Siboru Pareme membuat siasat. Ia harus mengorbankan dirinya untuk dikawini SIRAJA LONTUNG, KARENA TIDAK ADA MANUSIA DI HUTAN ITU.

Suatau malam menjelang tidur Siboru Pareme memanggil anaknya. “Sudah sejak lama kau menanyakan boru tulangmu, Sebenarnya anakku…kau sudah saya bohongi” ujar Siboru Pareme dan mulai menjelaskan ciri-ciri paribannya. Boru tulangmu itu persis seperti saya, baik postur tubuh dan rambutnya, tingginya juga sama dengan saya. Tetapi kalau itu yg kau inginkan, saya juga senang. Pergilah mencari paribanmu. Kalau saya pergi mencari ayahmu ke arah barus, kalian bersama istrimu tinggal disini”, ujar Siboru Pareme dengan serius membuat SIRAJA LONTUNG manggut manggut.

Kemudian Siboru Pareme merekayasa sebuah tempat sebagai kampung tulangnya.

Kepada SIRAJA LONTUNG, Siboru Pareme memesankan jangan sampai masuk ke kampung tulangnya.” Tetapi lihatlah boru tulangmu tengah mandi sore di Pansur sana”, kata ibunya sambil menunjuk sebuah pansur dari atas pebukitan Ulu Darat. “Kamu nanti berjalan dari sana, kalau kau langsung turun dan tembak lurus, kamu akan kesulitan, saya kuatir kamu masuk jurang”, kata ibunya sanbil mengarahkan SIRAJA LONTUNG mengambil jalan melingkar ke pansuran itu walaupun ada jalan yg lebih cepat menuju tempat pansuuran itu.

Setelah SIRAJA LONTUNG berlalu, Siboru Pareme bergegas pergi ke pancuran (pansur) yang ditunjukkannya kepada anaknya. Ia mengambil jalan pintas dan tiba lebih awal dari SIRAJA LONTUNG. Dengan tergesa-gesa dia membuka pakaian laklak dan mandi di pansur itu. Waktu sudah semakin sore, matahari sudah mulai tenggelam. Ia sudah mulai mendengar tanda-tanda SIRAJA LONTUNG sudah dekat. Hati Siboru Pareme mulai berdebar, detakan jantungnya mulai dag dig dug, karena dia kuatir dikenal anaknya SIRAJA LONTUNG yg menjadi calon suaminya.

SIRAJA LONTUNG semakin mendekat. Ia mendengar ada manusia tengah mandi di pansuran itu. “Berarti benar apa yang diberitahu ibuku”, katanya dalam hati, sambil mengintip dari celah-celah pohon. Ia tidak sabar terlalu lama lagi, karena hari sudah gelap dan langsung menghampiri Siboru Pareme, setelah membiarkan Siboru Pareme menutupi tubuhnya dengan kain laklak.

“Bah benar juga yg dibilang ibuku, tidak ada ubahnya seperti dia”, katanya dalam hati. “Santabi boru ni tulang, saya ingin menyampaikan pesan ibuku”, kata SIRAJA LONTUNG dan menggapai tangan Siboru Pareme serta meremas jemari perempuan yang disebut paribannya itu, dan menyelipkan cincin ibunya ke jari manis dan ternyata pas. “Berarti tidak salah lagi, kaulah paribanku itu. Wajahmu seperti ibuku dan cincin ibuku cocok dijari manismu,” lanjutnya merasa yakin.

Tanpa ragu dia menyampaikan niatnya untuk mengawini paribannya itu. Dengan malu-malu, sambil menutupi sebagian pipinya dengan rambut yg hitam panjang, menjawab pinangan itu dengan setuju. Kemudian membawanya ke tempat tinggalnya di sekitar wilayah Ulu Darat.

Malam semakin pekat, keduanya pulang sesuai pesanan ibunya. Namun SIRAJA LONTUNG terkejut, sebab ibunya tidak lagi di jumpai di rumahnya. Ia teringat pesan ibunya yang berniat mencari ayahnya SARIBU RAJA kearah Barus. Keduanya hidup serumah dan menjadi suami istri, dan lahirlah anak mereka tujuh laki-laki dan satu perempuan. Masing-masing bernama yaitu: Toga Sinaga, Tuan Situmorang, Toga Pandiangan, Toga Nainggolan, Toga Simatupang , Toga Aritonang dan Toga Siregar. Dan satu-satunya putrinya kawin dengan marga Simamora. Namun setelah perkawinan mereka, tidak lama kemudian suaminya meninggal dan dia kawin lagi ke Marga Sihombing.

sumber: milis SIMPATUPANG

versi 2

Anak dari Si RAJA BATAK ada dua yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Sumba (Isumbaon).

Sekarang kita fokus pada keturunan Guru Tatea Bulan di mana dia mempunyai lima putra dan empat putri sebagai berikut:

1. Raja Biak-biak (putra)

2. Tuan Saribu Raja (putra)

3. Siboru pareme (putri)

4. Limbong Mulana (putra)

5. Siboru Paromas (putri)

6. Sagala Raja (putra)

7. Siboru Biding Laut (putri)

8. Malau Raja (putra)

9. Nan Tinjo (putri)

Kisahnya adalah sebagai berikut :

Tuan Saribu raja bertumbuh menjadi dewasa, demikian pula adiknya yang perempuan Siboru pareme. Langkanya manusia, terisolasinya tempat tinggal, naluri dan dorongan alamiah pada diri mereka membuat mereka lepas kendali. Hubungan gelap di antara mereka akhirnya membawa buah. Siboru pareme hamil. Rahasia yang selama ini dipendam kini terungkap. Incest demikian jelas merupakan pelanggaran serius.

Adat dan kesepakatan menetapkan hukuman mati bagi mereka berdua. Namun karena kehamilannya Siboru Pareme tak boleh dibunuh. Dia dibuang ke sebuah hutan di atas Sabulan sekrang, satu daerah yang dianggap sebagai sarang harimau. Biarlah harimau itu yang membunuhnya, kalau bukan kelaparan dan deritanya sendiri. Begitulah pikiran Limbong Mulana dan adik-adiknya.

Singkat cerita, siboru pareme suatu ketika menolong seekor harimau (ompu i ) datang membawa deritanya dimana secercah tulang tertancap di kerongkongannya. Siboru Pareme mengeluarkan serpiah tulang itu dan sejak itu timbullah sejenis persahabatan di antara mereka (makanya keturunan Lontung tidak pernah akan dimakan harimau dihutan, karena ada babiat setelpang yang akan menolongnya). Semua proses persalinan yang dialami Siboru Pareme , juga dibantu oleh Harimau tadi, lalu lahirlah seorang laki-laki dan diberi nama “si Raja Lontung”.

And later……..

Si Raja Lontung pun sudah dewasa, dan Siboru Pareme yakin dan tahu bahwa Si Raja Lontung tidak dapat menemukan seorang perempuan jadi isterinya, niscaya dia akan mati lajang tanpa keturunan. Lalu suatu siasat dikembangkan dalam kerahasiaan pribadi yang amat sangat. pada satu saat yang baik Siboru Pareme menyerahkan cincinnya pada Si Raja Lontung dengan pesan : Pergilah ke tepian yang ada di kejauhan sana. Tunggulah disana hingga paribanmu turun mengambil air. Dia mirip sekali dengan saya hingga sulit dibedakan. Pasangkan cincin ini pada jarinya dan lihat ini pun harus pas betul. Bila hal ini telah terbukti bujuklah dia menjadi isterimu. Selanjutnya Siboru pareme menrengkan jalan berliku yang harus ditempuh anaknya. Si Raja Lontung pun berangkat menapaki jalan berliku seperti yang telah dirunjuki oleh ibunya. Sementara itu si Boru Pareme pun bernagkat ke tepian yang sama. Dia mengambil jalan pintas agar dapat mendahului anaknya. Setibanya disana dia pun mendandani dirinya sedemikian rupa hingga nampak lain dan lebih muda. pada hari anaknya tiba, dia sudah siap.

Si Raja Lontung tiba. Setelah menunggu sesaat seorang perempuan yang mirip dengan ibunya (dan memang ibunya) turun ke tepian untuk mengambil air. Satu acara perkenalan yang singkat terjadi dan sekepakatan dicapai, lalu keduanya minggat untuk kawin di tempat lain. Jadilah Si Raja Lontung Oedipus-nya orang Batak. Bagi siboru Pareme ini merupakan kawin sumbang yang kedua.

Penyamaran dan lakon Siboru Pareme demikian sempurna hingga kecurigaan Si Raja Lontung tak pernah berkembang dan dia tak pernah yakin bahwa dia telah memperistri ibunya.

SiRaja Lontung mempunyai tujuh putra dan dua putri :

1. Ompu Tuan Situmorang (putra)

2. Sinaga Raja (putra)

3. Pandiangan (putra)

4. Nainggolan (putra)

5.Simatupang (putra)

6. Aritonang (putra)

7. Siregar (putra)

8. Siboru Amak Pandan (putri) dan

9. Siboru Panggabean (putri) Kedua putri ini kawin dengan Simamora dan Sihombing.

Namun kedua boru ini lebih lazim dipanggil “Sihombing-Simamora”

Ketujuh putra ini kemudian menurunkan marga Lontung yang tujuh itu, masing-masing menurut namanya. satu hal yang unik ialah bahwa ketujuh marga Lontung ini tidak merasa puas bila tidak menyertakan kedua boru itu dalam bilangan dan kelompoknya. Inilah cikal bakal sebutan “Lontung Sisia Sada Ina Pasia Boruna Sihombing-Simamora“.

Sumber: Aliber Situmorang Siringo from http://batak-gaul-indonesia.blogspot.com dan http://riyanthi.wordpress.com




Senin, 17 November 2008

Impola ni Hata (Bagian-01)

Postingan berikut ini memuat berbagai kata-kata bijak yang sering digunakan dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat batak (versi Angkola), dan mungkin juga ada padanannya pada puak lainnya di Sumatera Utara.

Lotok aek di jae ankon na ditungkir do tu julu.
(jika keruh air di bagian hilir, kita harus memeriksa pada bagian hulunya)
antusanna/artinya:
jika ada suatu masalah/perubahan harus di cari penyebabnya.
Jangan langsung panik atau mempercayai sesuatu sebelum memeriksa atau memahami masalahnya.

adminHITASU

Kamis, 13 November 2008

Halal Bihalal Siregar

Mengundang semua Saudara-saudara Ku di manapun Anda berada, untuk menghadiri Acara Silaturrahim Marga Siregar Boru dohot Bere;
Pada tanggal 16 November 2008
Bertempat di Kemang 21 (Rumah Bapak Yusuf Siregar)

admin

Kamis, 09 Oktober 2008

Selamat Idul Fitri

keluarga besar HITASU mengucapkan;

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 SYAWAL1429H
mohon maaf lahir dan bathin